Atasan dan Karyawan

Atasan dan Karyawan

Aku baru saja ditugaskan ke Purwokerto untuk ngurus ekspansi kantor cabang baru perusahaan otomotif tempatku bekerja. Sebagai Branch Manager, salah satu tugas utamaku adalah merekrut karyawan untuk semua posisi. Untungnya, aku dibantu sama supervisor lokal yang super gaul, kenal banyak orang, apalagi kalau soal temen cewek, tempat nongkrong, atau dugem dia jagonya.

Suatu hari, dia kenalin aku sama Rosa, salah satu temen ceweknya. Rosa ini cewek manis, kulitnya putih, rambut panjang sebahu, tinggi sekitar 160 cm, badannya proporsional, nggak gemuk, beratnya kira-kira 50 kg. Umurnya 21 tahun, masih kuliah, tapi pengen kerja sambilan. Sebelumnya, dia pernah jadi SPG. Aku langsung ngerasa cocok sama dia, soalnya aku lebih suka cewek berwajah manis ketimbang yang cuma cantik nggak bikin bosen ngeliatnya.

BACA JUGA : Ketika Kost di Yogya

Sebagai Branch Manager, tugasku cuma ngasih approval, lalu data dikirim ke HRD pusat di Semarang untuk di-ACC. Tapi, karena kantor cabang baru ini belum punya divisi HRD, semua berkas harus dilengkapin langsung ke kantor pusat. Singkat cerita, supervisor bilang Rosa dipanggil buat wawancara di Semarang, hari Sabtu. Aku udah tahu duluan, jadi aku bikin rencana biar bisa lebih dekat sama dia.

Sehari sebelum wawancara, aku ambil cuti biar bisa libur dua hari. Aku bilang ke Rosa kalau aku ada meeting di Semarang, jadi ngajak dia berangkat bareng Jumat sore. Perjalanan ke Semarang lumayan lama, sekitar tujuh jam kalau naik travel. Awalnya, Rosa bingung karena nggak punya tempat nginep di Semarang, apalagi dia nggak punya saudara di sana. Aku bilang, “Tenang aja, aku punya saudara di sana, kita bisa nginep di tempat mereka.” Akhirnya, dia setuju.

Jumat sore, aku jemput Rosa di rumahnya. Ini pertama kalinya aku ke rumah dia dan ketemu orang tuanya. Keluarganya kelihatan lega karena Rosa nggak pergi sendirian dan ada yang nemenin. Sepanjang perjalanan, kita ngobrol banyak, bercanda, dan rasanya makin akrab. Sampai Semarang sekitar jam delapan malam, aku bawa mobil ke Tembalang, ke rumah kontrakan yang dulu aku sewa bareng dua temen pas kuliah. Aku bilang ke Rosa itu rumah saudaraku, padahal aku tahu rumah itu bakal kosong temen-temenku selalu pulang kampung ke Pati atau Solo tiap Jumat sore.

Sampai di sana, aku ketuk pintu beberapa kali, nggak ada jawaban. Setelah nunggu 15 menit, aku pura-pura telepon saudaraku. “Halo, Ndi, kamu di mana? Kok rumah kosong?” kataku, pura-pura ngobrol. “Oh, gitu? Aku lagi di Semarang, besok ada meeting. Rencananya mau nginep di sini. Kapan balik?” Aku akhiri “panggilan” dengan bilang, “Ya udah, besok aku mampir lagi. Salam buat Om sama Tante, ya.”

Aku lalu bilang ke Rosa dengan nada menyesal, “Maaf, Ros, ternyata Om sekeluarga tiba-tiba ke luar kota tadi siang, ada saudara yang meninggal. Aku juga lupa nggak konfirmasi dulu, soalnya biasanya mereka jarang pergi, atau paling nggak sepupuku, Dendi, ada di rumah.” Rosa kelihatan agak panik, “Terus gimana, Mas?”

Aku usulin, “Gini aja, kita nginep di hotel. Kebetulan aku punya jatah hotel kalau ada meeting di Semarang. Nggak apa-apa, kan?” Dia cuma bilang, “Ya udah, terserah Mas aja,” dengan nada pasrah. Aku langsung bawa mobil ke hotel di Gajah Mungkur yang aku udah tahu tempatnya oke dan aman.

Di hotel, aku bilang ke Rosa buat nunggu di mobil sebentar, aku ke lobi dulu. Aku sengaja lama-lama di lobi biar sesuai rencana. Balik ke mobil, aku bilang, “Maaf, Ros, nunggunya lama, ya? Ternyata cuma ada satu kamar VVIP yang tersisa. Aku udah minta resepsionis cari kamar lain, tapi katanya bener-bener full, apalagi ini weekend. Aku juga coba cari hotel lain, tapi semuanya penuh. Untung masih dapet satu kamar ini, lagi dirapihin. Aku tidur di sofa aja, nggak apa-apa, kok. Kamu oke, kan?”

Rosa kelihatan bingung, tapi akhirnya bilang, “Ya udah, nggak apa-apa. Maaf, malah Rosa yang ngerepotin.” Aku nyengir dalam hati semua sesuai rencana.

Kamar hotelnya berbentuk paviliun, kayak rumah kecil dengan satu kamar tidur, posisinya di atas bukit dengan pemandangan kota Semarang yang keren banget malam hari. Rosa kagum, “Wah, bagus banget pemandangannya!” Aku jawab, “Iya, Semarang punya banyak spot romantis di malam hari, apalagi di bukit-bukit gini. Kalau kamu nggak capek, nanti kita makan malam di kafe yang asik, pemandangannya juga bagus.”

Dia antusias, “Ayo, Mas, Rosa pengen lihat kota Semarang dari kafe!” Setelah mandi, aku ajak dia ke kafe langgananku dulu pas kuliah. Tempatnya nggak terlalu ramai karena masih Jumat malam. Aku pilih meja di lantai dua biar bisa nikmatin pemandangan kota. Rosa excited, “Bener, Mas, tempatnya romantis banget! Itu kota Semarang di bawah, ya?”

“Iya, bagus, kan?” kataku sambil nunjuk ke arah lampu-lampu berkelap-kelip. “Itu yang kelap-kelip biru sama merah, kantor pusat. Besok kita ke sana.” Rosa tanya, “Wawancara besok susah nggak, Mas?” Aku jawab santai, “Nggak, cuma formalitas. Aku udah telepon Pak Hari dari HRD, dia yang bakal wawancara kamu.”

Kami ngobrol panjang, bercanda, dan suasananya makin santai. Aku nggak bosen-bosen ngeliat wajah manisnya, senyumnya, dan tawa renyahnya. Rasanya ada perasaan yang tumbuh di hati, makin kuat tiap menit. Jam 10 malam, aku ajak pulang, “Udah malam, Ros, kamu harus istirahat biar fresh buat wawancara besok.” Dia cuma ngangguk, dan aku gandeng tangannya ke mobil. Pas tangan kami bersentuhan, jantungku kok deg-degan.

Di kamar hotel, Rosa masuk kamar mandi buat ganti baju, sementara aku duduk di sofa nonton TV. Pas dia keluar, aku kaget. Dia pake kaus longgar agak tipis sama celana pendek. Pahanya yang mulus bikin aku nggak bisa berkedip. Dia jalan ke meja di samping tempat tidur, ambil sesuatu dari tasnya, terus bawa camilan ke arahku. “Ini, Mas, tadi lupa bawa camilan buat nemenin nonton TV,” katanya sambil membungkuk naruh camilan di meja depanku.

Kausnya yang longgar tersingkap, dan aku lihat bra hitamnya. Dadanya nggak besar, tapi kencang dan mulus. Aku nggak bisa nahan diri, jantungku berdebar kencang. “Kok diem aja, Mas?” tanyanya, bikin aku tersadar. “Eh, iya, makasih,” kataku tergagap. Kayaknya dia sadar aku lagi ngeliatin apa, buru-buru dia pegang ujung kausnya dan balik ke tempat tidur.

“Mas, Rosa tidur dulu, ya,” katanya sambil selonjoran. Aku cuma jawab, “Iya, tidur aja. Mas masih mau nonton film ini.” Tapi pikiranku nggak ke film. Aku cuma bisa mikirin dia, dadanya, dan perasaan yang nggak bisa aku tahan. Selama hampir satu jam, aku cuma duduk di sofa, pikiran penuh tanya berani nggak ya? Apa yang bakal terjadi kalau aku nekat?

Tiba-tiba, suara lirih Rosa bikin aku kaget, “Mas, udah tidur belum?” Aku jawab, “Belum.” Dia lanjut, “Mas pasti capek nyetir seharian, nggak bisa tidur nyenyak di sofa. Tidur di sini aja, Mas, kasihan.” Aku nggak percaya, “Bener nggak apa-apa, Ris? Kamu nggak khawatir?” Dia cuma bilang, “Nggak apa-apa, Mas, kasihan badan Mas capek.”

Aku pindah ke tempat tidur, selonjoran di sampingnya. Dia memejamkan mata, dan aku cuma bisa mikir berani nggak ya? Akhirnya, aku coba usap rambutnya pelan. Nggak ada reaksi, jadi aku lanjut cium pundaknya, telinganya, lalu lehernya. Dia mulai geliat, tapi nggak nolak. Tangan kiriku akhirnya nekat ke dadanya, ngerasain gundukan di balik kaus dan bra-nya. Dia cuma gelinjang, nggak ngomong apa-apa.

Aku makin berani, tanganku masuk ke dalam kausnya, nyentuh perutnya, lalu naik pelan ke dadanya. Aku sengaja nggak langsung ke dalam bra-nya, cuma nyentuh di antara belahan dadanya. Dia mendesah pelan, badannya gelinjang. Akhirnya, aku coba sibak bra-nya, dan pas tanganku nyentuh putingnya, dia kayak kaget, badannya melonjak. “Jangan, Mas…” bisiknya lirih, tapi tangannya nggak nahan.

Aku nggak peduli, terus remas pelan dadanya yang kencang. Dia mendesah makin kencang, badannya gelinjang kayak nggak tahan. Aku tarik kausnya ke atas, dorong bra-nya, dan lihat dadanya yang putih mulus, kencang, dengan puting merah muda yang kecil. Aku nggak tahan, langsung cium putingnya, sambil tangan kiriku remas pelan sisi lainnya. Dia mendesah lebih kencang, badannya mengejang.

Takut suaranya kedengeran, aku turun ke perutnya, cium pelan, lalu tarik celana pendeknya. Celana dalamnya udah basah, bikin aku makin nafsu. Aku cium perutnya, turun pelan ke bagian bawah, sampai akhirnya nyentuh kemaluannya. Dia terpekik, tapi cuma gelinjang pas aku jilat pelan. Badannya mengejang hebat, napasnya memburu, dan aku tahu dia udah nggak tahan.

Aku berhenti, duduk di antara kakinya, ngeliatin dia yang napasnya masih ngos-ngosan. Aku cium keningnya, usap rambutnya yang basah keringat. Dia bangkit, lepas kaus dan bra-nya sendiri, lalu selonjoran lagi, matanya ngejar ke arahku. Pemandangan di depanku bikin aku nggak tahan dadanya yang kencang, putingnya yang merah muda, dan rambutnya yang basah keringat.

“Mas…” bisiknya pelan, kayak minta sesuatu. Aku nggak bisa nahan lagi. Aku lepas semua bajuku, tarik celana dalamnya sampai cuma nyangkut di satu kaki, dan peluk dia erat sambil cium lehernya. Badannya mendesah pelan, dan aku tahu, malam itu bakal jadi malam yang panjang.

Aku pelan-pelan nyentuh putingnya, lembut banget. Dia langsung kegelian, badannya bergerak-gerak. Aku remas pelan payudaranya, terus bibirku mulai nyentuh puting kirinya. Rosa makin gelisah, desahannya panjang dan lembut. Aku mulai hisap putingnya, sambil tangan kiriku mainin puting satunya.

“Mas…” suara Rosa lirih, kayak memohon gitu.

Tangan kiriku turun ke perutnya, nyentuh pusarnya, terus pelan-pelan ke bawah, sampe ke area kemaluannya. Bulu-bulu halusnya kerasa lembut di jari. Kaki dan badan Rosa bergerak nggak karuan, kayak nggak bisa nahan.

Aku sentuh bagian intimnya yang udah basah banget. Aku coba cari klitorisnya, tapi susah ketemu, mungkin kecil. Tiba-tiba tangan Rosa pegang tanganku, kayak bantu nunjukin tempatnya. Akhirnya ketemu, kecil banget, aku sentuh pelan-pelan pake ujung jari. Sementara jari tengahku nyari lubang vaginanya.

Rosa kegelian lagi, badannya gerak nggak karuan, kayak nahan sesuatu. Pelan-pelan aku masukin jari tengahku ke dalam vaginanya. Dia ngeluh panjang, tangannya megang tanganku, kayak minta dimasukin lebih dalam. Aku mainin jari di dalam, dan kayaknya dia udah nggak perawan, soalnya gampang banget masuk.

Setelah puas mainin putingnya sama jari di vaginanya, aku tarik kaki dan badannya agak kasar ke ujung ranjang, sampe pantatnya di pinggir. Aku buka lebar kakinya, terus jongkok dan mulai jilatin vaginanya yang udah becek. Rosa langsung kelojotan, badannya mengejang pas lidahku kena klitorisnya.

Desahannya kayak minta sesuatu yang lebih. Tapi aku belum kasih. Aku cuma tempelin kemaluanku di pangkal pahanya, jadi batangku nempel di bibir vaginanya yang udah licin. Aku gesek-gesek pelan, biar klitorisnya kegesek. Badan Rosa makin mengejang hebat.

“Mas… aku… udah nggak tahan…” bisiknya memohon, matanya sayu penuh birahi, sambil gigit bibir bawah. Tangannya coba tarik kemaluanku biar masuk.

“Duh, ini yang aku tunggu-tunggu, Ros,” batinku.

Tanpa pegang, aku arahin kemaluanku ke vaginanya. Instingku nyari lubangnya sambil terus gesek-gesek. Nggak lama, ujung kemaluanku udah di pintu vaginanya. Pelan-pelan aku masukin, mulus banget karena dia udah basah. Aku tekan sampe masuk semua.

Rosa ngeluh pelan pas aku masuk sampai dalam. Aku tahan sebentar, terus keluar-masukin pelan. Dia mulai gelagapan, kepalanya geleng-geleng, kayak nahan nikmat yang kebangetan. Tangan kanannya nyengkram bedcover, tangan kirinya remas payudaranya sendiri.

Sambil terus gerakin kemaluanku, aku membungkuk, coba capai putingnya yang udah merekah dan memerah. Aku hisap dan mainin pake lidah. Badan Rosa makin kegelian parah.

Tangan kanannya nyengkram rambutku, kayak mau narik kepalaku supaya berhenti mainin putingnya. Tapi aku nggak berhenti. Kayaknya dia udah nggak kuat nahan rasa nikmat yang campur ngilu.

Aku percepat gerakan pinggulku, sambil hisap putingnya dalam-dalam. Rosa terpekik keras. Badannya mulai kejang lagi. Aku tambah cepet dorong kemaluanku. Kaki dan pinggulnya kejang hebat. Kemaluanku udah keras banget.

Aku benamkan dalam-dalam, otot vaginanya kedut-kedut, kayak ngeremas kemaluanku. Tiba-tiba cairan kental keluar dari kemaluanku. Rosa ngeluh panjang, kakinya menegang, tangannya nyengkram kepalaku erat, kayak nahan sesuatu yang luar biasa.

Cairan hangatku banjirin rahimnya. Otot vaginanya masih kedut-kedut, ngeremas kemaluanku yang masih nyemprotin sisa air mani.

Aku biarin kemaluanku di dalam, badan Rosa mulai lemas. Cairan hangat mulai meleleh keluar dari vaginanya, campuran air maniku dan cairannya. Aku pegang kepalanya, kecup bibirnya pelan, terus lumat penuh sayang. Rosa masih pejam mata, napasnya ngos-ngosan. Rambutnya basah keringat. Aku usap pelan keningnya, bersihin keringatnya.

Aku bangkit pelan, tarik kemaluanku dari vaginanya. Badan Rosa mengejang sebentar pas aku lepas. Aku ambil bantal, angkat pantatnya, dan selipin bantal di bawah. Entah kenapa, tiba-tiba kepikiran pengen dia hamil. Nggak peduli dia mau atau nggak, aku pengen wanita ini hamil.

Mata Rosa pelan-pelan terbuka. “Mas…” panggilnya lirih.

Aku duduk di sampingnya, usap kepalanya pelan. Dia natap aku dengan ekspresi campur aduk—gundah, takut, senang, bercampur jadi satu. Aku balas dengan senyum lembut. Kami cuma saling diam beberapa saat. Terus aku bangkit ambil tisu buat bersihin cairan di vaginanya.

Belum sempet balik, Rosa udah peluk aku dari belakang. Payudaranya yang hangat nempel di punggungku. Aku balik, peluk dia erat. Dia peluk aku balik, kepalanya nyandar di pundakku. Aku kecup kepalanya mesra.

Pagi-pagi pas buka mata, posisi masih sama kayak semalem pas kita ketiduran. Rosa masih nemplok di dadaku, tidur pulas banget. Aku pelan-pelan geser, ambil HP di meja sebelah. Cek jam, udah 06:10. Kutaruh HP lagi, trus peluk Rosa erat-erat. Rasanya sih, masih pengen banget nyanyi-nyanyi sama badannya yang bikin nagih ini. Dia kebangun.

“Udah pagi, beb? Jam berapa?” tanyanya, suaranya masih ngantuk.

“Enam lewat sepuluh,” jawabku sambil nyium keningnya.

Dia cuma nyengir, trus balik nyusupin kepalanya ke dadaku.

“Ayo bangun, mandi dulu biar nggak telat ke kantor pusat,” ajakku. Gak ada respon.

“Beb, ayo dong, ntar telat lho,” ulangku lagi.

“Males, Mas…” jawab Rosa pelan, ngedongak ke aku dengan muka males-malesan.

“Loh, males kenapa? Capek apa gimana?” tanyaku sambil elus-elus kepalanya. Dia cuma diam.

“Kenapa, Beb?” tanyaku lagi.

“Jadi kepikiran aja. Ntar aku kerja bareng Mas, jadi anak buah Mas… padahal kita…” dia nggak lanjutin kalimatnya.

“Trus pasti anak buah Mas yang lain tahu, kan? Bisa-bisa suasana kantor jadi awkward. Mereka bakal mikir aku dispesialin. Mas juga pasti bakal sungkan negur aku kalau aku salah. Bener, kan? Ntar aku jadi bahan omongan temen-temen kantor,” cerocosnya panjang, kepalanya masih nemplok di dadaku.

Aku baru ngeh, bener juga sih apa yang dia bilang. Aku diem sejenak.

“Beb, ntar kan bisa aku tempatin di kantor cabang lain, yang nggak satu gedung sama aku. Cabangnya ada tiga, pilih aja yang menurutmu oke,” kataku, nyoba bikin dia tenang.

“Tetep aja, ntar pasti jadi omongan. ‘Itu si Rosa, pacarnya Pak Ivan,’” balasnya.

Aku cuma nyengir denger dia bilang “pacar.” Lah, sejak kapan jadian? Baru kemaren deket, belum ada komitmen apa-apa.

Mungkin bener kata temen-temen, kalau udah “deket banget,” cewek bakal ngerasa ada ikatan spesial gitu. Kecuali ya kalau cuma ONS, beda cerita.

“Emm, Beb, emang gak boleh ya bos suka sama anak buah? Kan banyak tuh bos yang jadian sama anak buahnya, bahkan sampe nikah,” kataku.

Rosa cuma diem.

“Yaudah, gak usah overthinking. Ntar kita atur, gampang kok. Ayo buruan mandi!” ajakku sambil buka selimut dan tarik tangannya ke kamar mandi.

Di kamar mandi, aku lumurin badannya pake sabun. Rosa juga balik lumurin badanku, gosok-gosok sampe berbusa. Ada sensasi sendiri sih, main-main sama badan yang licin gitu.

Bathtub udah keisi air hangat tiga per empat. Aku langsung nyebur, sementara Rosa masih bilas sabun pake shower. Habis itu, dia nyusul masuk bathtub, posisinya nempel ke aku dari belakang. Aku peluk dia, tanganku mulai iseng main di pangkal paha sama dadanya.

Tiba-tiba dia berdiri, balik badan, lututnya ditekuk. Trus dia turunin pantatnya, nyenggol-nyenggol “anu”-ku sampe makin tegang. Kayaknya dia udah berani ambil inisiatif sekarang. Mungkin gara-gara semalem dia ngerasa ketagihan sama sensasinya.

Dia pandu “anu”-ku masuk ke dalam dirinya. Pas dia turunin pantatnya lagi, langsung masuk dalam-dalam sampe mentok. Rosa cekikikan pelan, trus diem sejenak, kayak lagi nikmatin momen.

Aku cuma diem, biarin dia nyari kenikmatannya sendiri. Tangan dia nuntun tanganku ke dadanya, minta digesek-gesek putingnya yang udah keras. Aku mainin pelan biar nggak lecet. Dia mulai gelinjang, desahannya pelan.

“Mas…” katanya lirih, matanya memelas.

Aku ngerti maksudnya. Dia ngebutin gerakan, tanganku udah megang dadanya erat. Aku mainin putingnya, cubit pelan, pilin, tekan, sampe badannya mulai mengejang. Gerakannya makin liar, kayak pengen “anu”-ku masuk lebih dalam lagi. Aku coba sinkron biar kita kelar bareng. Dia makin kenceng, tangannya nyakar lenganku.

BACA JUGA : Guru Sakit Hati

Pas dia kelojotan hebat, otot-otot “itu”-nya berdenyut, “anu”-ku juga udah di puncak. Aku remes dadanya kuat-kuat, dia berhenti gerak, cuma pengen ngerasain dalem banget. Dia melenguh panjang, badannya ngejang, tangannya ngecengkeram lenganku. Aku juga “meledak” bareng dia.

Habis itu, badannya ambruk ke aku. Aku elus rambutnya yang basah, kecup kepalanya pelan. Beberapa saat kemudian, dia bangkit.

“Mas, Rosa ganti baju dulu, ya,” katanya sambil nyanyi ke aku.

“Hmm,” jawabku pendek sambil pegang kepalanya, trus cium bibirnya. Dia bangkit, keringin badan, trus keluar kamar mandi pake handuk.

Pas aku keluar, Rosa lagi nyari sesuatu di tasnya. Aku ambil tas ku, buka, dan keluarin bra sama celana dalamnya yang semalem aku sembunyiin.

“Lagi nyari ini, Beb?” kataku, nunjukin “barang sitaan.”

Rosa nengok, muka bingung. “Loh, kok ada di situ?”

“Buat sementara, ini Mas sita dulu selama kamu masih sama Mas,” kataku jail.

“Ih, apa sih!” balasnya sambil nyengir malu.

“Iya, gak usah pake daleman. Mas pengen lihat kamu seksi pake baju doang,” godaku.

“Huu, maunya!” katanya, sambil ketawa kecil.

Pagi ini Rosa pake blouse putih bergaris hitam lengan panjang, dipaduin sama rok span hitam di atas lutut. Blazer hitamnya masih digantung. Blouse-nya agak tipis dan ketat, jadi putingnya samar-samar kelihatan gara-gara no bra. Anggun banget, deh.

Dia berdiri di depan kaca rias. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh?” tanyanya, ngeh aku lagi ngeliatin.

“Eh, nggak, kamu seksi banget,” jawabku.

Aku deketin dia, tanganku iseng nyentuh putingnya yang nyembul dari balik baju. “Bisa-bisa nggak jadi ke meeting, lho, Mas,” katanya, tapi kalimatnya kepotong soalnya aku udah nyosor cium bibirnya.

Tangan ku pegang kepalanya, trus turun ke bawah, nyibak roknya sampe ke atas pantat. Aku remes pantatnya yang “polos” itu, angkat sedikit, sambil mainin lidah di mulutnya. Aku angkat kaki kirinya, tapi agak susah nyampe ke “tujuan” dari belakang.

Aku puter badannya, peluk dari belakang, buka tiga kancing blouse-nya, sambil tangan kiriku nyibak roknya ke atas dan nyari “target.” Tangan kiri Rosa ngegantung di leherku. Aku remes payudara kirinya, mainin putingnya, sementara jari tengahku udah masuk ke “area basah.” Rosa cuma gelinjang ngerasain sentuhanku.

Aku buka bajunya, rebahin dia di pinggir kasur, kakinya masih ngegantung. Roknya kusibak sampe pinggang, kakinya kukangkangin. Aku benamkan kepala di pangkal pahanya, jilatin bibir “itu”-nya sambil remes dadanya. Rosa cuma bisa pegang kepalaku, geleng-geleng kepala nahan gejolak. Pas lidahku masuk dan main di dalam, dia mendesah, remes kepalaku pake dua tangan.

Setelah beberapa saat, aku beralih buat nyiumin dan ngejilatin bagian pusar sama perutnya Rosa. Pelan-pelan naik ke atas, nyiumin putingnya, terus lanjut ke leher. Aroma parfum Escada Sentiment-nya bikin aku makin nafsu. Aku jilatin telinganya, lalu beralih ke bibirnya, ngelumatin pelan. Setelah beberapa menit, aku ngehentikan ciumanku.

“Ntar lanjutin lagi sepulang kantor ya, beb…” kataku sambil nyengir. Rosa cuma ngeliatin aku sambil ngatur napas.
“Sengaja ya, Mas? Bikin aku horny gini? Ntar kalo wawancara aku gak fokus, gimana?” katanya manja banget.
Aku cuma ketawa kecil sambil ngerapihin bajuku.

Di jalan menuju kantor, Rosa terus megangin lengan kiriku. Kepalanya dia sandarin di lengan aku dengan manja. Pas sampe kantor, aku parkir mobil di sudut paling jauh. Takut ketauan temen kantor di Semarang kalo aku muncul di kantor pusat.

Begitu Rosa masuk gedung, aku langsung melipir ke parkiran gedung sebelah. Di situ ada kafe yang oke buat nongkrong sambil nungguin Rosa selesai wawancara.

Dua jam lebih aku nunggu di kafe sampe akhirnya HP-ku bunyi. Foto Rosa pake baju merah muncul di layar, foto kemarin pas baru sampe hotel. Langsung aku angkat.

“Gimana, beb? Udah selesai wawancaranya?”
“Udah, Mas. Baru aja kelar. Sekarang lagi jalan di tangga,” jawab Rosa dari seberang.
“Tunggu di parkiran tadi ya, say. Bentar lagi Mas sampe,” kataku sambil buru-buru keluar dari kafe.
“Iya, Mas,” sahutnya.

Kurang dari sepuluh menit, aku udah nyampe parkiran. Dari jauh, kuliat Rosa udah berdiri di ujung parkiran, pake blazer sama celana span hitam. Rambutnya yang tergerai ketiup angin bikin dia kelihatan makin anggun. Pas nyampe di depannya, aku bukain pintu mobil dari dalam.

“Hai, baby…” sapaku.
Rosa cuma senyum manis, lalu masuk mobil. Aku tarik kepalanya pelan dan nyium keningnya. Dia lepasin blazernya, dan pemandangan indah yang bikin aku nafsuan tadi pagi muncul lagi. Tapi aku ngeh, wajahnya agak beda, kayak ada yang bikin galau, gak kayak tadi pagi.

“Ada apa, beb? Kok kayaknya ada sesuatu?” tanyaku.
Dia cuma diam, ngeliatin ke depan dengan pandangan galau. Aku cuma ngeliatin wajahnya tanpa nanya lagi.
“Mmm… Mas…” Rosa kelihatan ragu buat lanjutin.
Aku cuma ngeliatin dia, ngasih kode biar dia lanjutin omongannya.
“Mmm… Mas… Kalo… kalo aku hamil, gimana?” tanyanya sambil ngeliatin aku dengan wajah khawatir.
Aku cuma senyum sambil ngeliatin dia.

“Mas…” desaknya karena aku gak jawab.
“Kenapa tiba-tiba nanya gitu, beb?” balik tanyaku.
“Mmm… Rosa tadi baru inget, ini hari ke-16, masa subur banget,” katanya sambil ngeliat ke depan.

Aku nyengir, “Emang sengaja Mas bikin kamu hamil…”
“Jangan bercanda, Mas. Rosa serius,” katanya dengan muka tegang.
Aku ketawa.

“Iya, Mas juga serius. Mas pengen kamu hamil,” kataku sambil narik pundaknya biar ngadep aku.
“Aaah, Mas kok gitu sih,” sahut Rosa, manja banget.
“Loh, emang kamu gak mau hamil karena Mas?” tanyaku lagi.

“Bukan gitu, Mas… Rosa cuma…” belum selesai ngomong, aku udah pegang kepalanya, nyiumin bibirnya. Rosa coba nolak.
“Eh, Mas, jangan… ntar diliat orang,” katanya sambil ngeliatin kanan kiri.

“Tadi dari luar kamu bisa lihat Mas di dalam mobil gak?” tanyaku. Rosa cuma geleng pelan.
“Kaca mobil Mas pake film, gak bakal kelihatan dari luar,” kataku, lalu langsung nyiumin bibirnya lagi. Awalnya dia nolak, tapi lama-lama dia ikutin permainanku.

Tangan kananku langsung nyari kancing bajunya. Aku buka tiga kancing, terus mulai meremasin payudaranya pelan, mainin putingnya pake jariku. Dia ikutin alurku. Setelah beberapa lama, tanganku mulai nyusurin pahanya sampe ke pangkalnya. Rosa mulai ngeliatin kakinya.

Aku rebahin sandaran kursi mobil. Jari-jariku dengan gampang nyusurin pangkal pahanya sampe masuk ke vaginanya. Aku rasain udah mulai basah. Aku gerakin jari tengahku di dalam, Rosa ngeliatin aku dengan mata penuh nafsu, badannya mulai gelinjang.

Tangan kiriku remasin payudaranya. Jari tengahku makin cepet gerak keluar-masuk. Mulutnya kebuka, kayak orang kehabisan napas, sambil tangannya pegangin tangan kananku yang terus gerak cepet di sela pahanya. Vaginanya udah basah banget.

Tangan kiriku remas payudaranya agak kenceng, terus aku tekan, sementara jari tengahku nusuk dalam-dalam ke vaginanya sambil aku mainin. “Hek…” suara Rosa keluar, badannya mulai mengejang.

Kedua tangannya cengkeram tangan kananku kuat-kuat. Vaginanya udah banjir. Matanya sayu ngeliatin aku. Dia udah orgasme. Aku mikir sejenak, dari tadi malam sampe sekarang, udah berapa kali ya dia orgasme? Mungkin lebih dari sepuluh kali. Tega gak ya kalo ntar sampe hotel aku ulangin lagi?

Aku cium bibirnya. Dia mulai ngerapihin baju sama roknya yang tersingkap gara-gara ulahku. Aku nyalain mesin mobil, dan kami perlahan ninggalin parkiran.

Sebelum ke hotel, kami mampir makan siang di resto. Pas nyampe kamar hotel, Rosa ganti baju pake kaus putih tipis ketat tanpa lengan, dengan belahan dada agak rendah. Bentuk payudaranya yang kenceng sama puting yang kelihatan samar bikin aku nafsu lagi. Rok mini abu-abu ketat yang gak pake celana dalam bikin lekuk tubuhnya makin jelas, bikin napasku sesak.

Dia rebahan di kasur, bersandar di ujung ranjang. Aku ikutan rebahan di sampingnya, ngerangkul sampe kepalanya bersandar di pundakku. Aku nyalain TV, cari tontonan yang bisa bikin rileks.

“Baby, capek ya?” tanyaku setelah lama gak ngobrol.
“Capek kenapa, Mas?” jawabnya sambil ngambil remote dari tanganku.
“Kan dari semalem udah berapa kali kamu orgasme…” kataku sambil nyiumin kepalanya.
“Mas curang, ngerjain aku mulu,” jawab Rosa sambil manyun.
Aku ketawa kecil.

“Ih, malah ketawa,” katanya sambil nyubit paha aku.
“Kamu juga sih, pake baju gini, gimana Mas gak sesak napas,” kataku sambil nyentuh putingnya yang menonjol di balik baju.

“Lah, kan Mas yang sembunyiin bra sama celana dalamku,” balasnya.
Aku ketawa lagi.
“Maaf ya kalo Mas bikin kamu gak nyaman,” kataku sambil elus-elus kepalanya.
“Enggak kok, Mas. Rosa nyaman aja,” jawabnya sambil ganti channel TV.

Dengar jawaban itu, aku masukin tanganku ke balik bajunya dari bawah, ngegenggam payudaranya. Sambil nonton TV, aku raba dan remas pelan. Sesekali aku sentuh putingnya. Rosa kelihatan nikmatin apa yang aku lakuin.

Tak lama, tangannya mulai nyusup ke celanaku, nyari kontolku. Dia genggam dan mainin pelan. Gak lama, dia bangkit, lepasin celanaku. Terus dia berdiri di atasku, nyingsingin roknya sampe pinggang, lalu jongkok, nempelkan vaginanya ke kontolku sampe terjepit.

Dia goyangin pinggulnya pelan-pelan, bikin kontolku yang di celah vaginanya bergesekan. Gak lama, dia tarik bajunya sampe ketiak, payudaranya yang putih dengan urat-urat biru kelihatan goyang-goyang ngikutin gerakan pinggulnya.

Tangannya nuntun tanganku ke payudaranya. Aku jamah pelan, mainin putingnya. Rosa mendesah pelan, tangannya pegangin tanganku yang lagi meremasin payudaranya.

Aku rasain vaginanya udah basah. Tangan Rosa ngarahkan kontolku masuk ke vaginanya. Gak lama, kontolku masuk dalam. Dia goyangin pinggul lagi, maju-mundur, kadang muter-muter, kayak pengen kontolku jelajahi seluruh vaginanya.

Mungkin karena udah sering masuk, vaginanya terasa agak longgar dibandingkan pertama kali. Dia kayak belum puas. Akhirnya aku inisiatif ganti posisi.

Aku bangkit, posisiin Rosa miring di ujung kasur, kayak jongkok dengan kaki rapat. Vaginanya yang basah kelihatan rapet di antara pangkal pahanya. Aku arahin kontolku ke situ, nyari lubangnya.

Langsung aku masukin, dan lubangnya terasa lebih sempit, ngejepit kontolku. Aku gerakin pinggul maju-mundur, kontolku keluar-masuk di vaginanya. Rosa kelihatan lebih puas.

Sambil remas payudaranya, aku gerakin pantatku makin cepet. Rosa mendesah panjang. Tangannya pegangin tanganku yang remas-remas payudaranya. Napasnya tersengal, kepalanya geleng-geleng pelan, badannya kadang mengejang. Desahannya bikin aku makin nafsu.

Pas mau orgasme, aku sodok kontolku dalam-dalam sambil remas payudaranya keras. Rosa tercekat, badannya mengejang. Tangannya cengkeram tanganku kuat. Vaginanya ngeremes kontolku keras. Kontolku tegang dan nyemprotin mani di dalam vaginanya.

Aku terus sodok dalam, Rosa tercekat lagi, kayak kontolku nusuk sampe tenggorokan. Kontolku terus nyemprotin mani sampe habis. Badannya mengejang beberapa saat.

Pas mau cabut kontolku, Rosa nahan pantatku, kayak gak rela lepas. Aku geser posisi Rosa ke depan, biar kontolku tetep di dalam. Badannya mengejang tiap aku gerak. Aku rebahin badanku miring di belakangnya.

Sekarang Rosa miring ke kiri, kaki terlipat, memunggungiku. Aku raba payudaranya, remas-remas pelan dengan kontol masih di dalam vaginanya. Gak ada suara. Aku nikmatin posisi ini sambil mainin payudaranya. Lama-lama, kami ketiduran.

Sore hari kami bangun. Buru-buru mandi dan rapihin barang. Setelah check out, mobil melaju ninggalin Semarang. Kami rencana mampir Jogja sebelum pulang. Sepanjang jalan, Rosa manja, tangannya bergelayut di lengan kiriku, kepalanya bersandar di sana. Baju merah ketat lengan panjang sama legging hitam ketat yang dia pake bikin aku gak bisa berhenti nafsuan.

Kami nyampe Jogja sekitar jam 8 malam. Aku cari hotel di belakang Malioboro, pengen nikmatin malam di Jogja bareng dia. Minggu pagi, kami main ke Pantai Parangtritis. Sepanjang malam sampe siang di Jogja, aku masih sempet nyetubuhin Rosa tiga kali. Dia kayaknya juga menikmatin.

Menjelang siang, kami balik ke Purwokerto. Di jalan, Rosa banyak tidur, mungkin capek gara-gara aku bikin dia gak tidur semaleman. Dua hari dua malam ini, kami bener-bener melampiasin semua hasrat.

Minggu malam, kami nyampe Purwokerto. Aku antar Rosa pulang. Wajahnya kelihatan capek, tapi matanya penuh kebahagiaan. Setelah mampir sebentar di rumahnya, aku pamit. Rosa kayak belum mau pisah. Aku bilang besok aku bakal nemenin dia lagi, dan setiap hari aku bakal ada buat dia.

Setelah pamitan sama orangtuanya, aku balik ke kos. Capek dan ngantuk gak sebanding sama kenikmatan bareng Rosa. Pengen buru-buru malam ini lewat biar bisa bareng dia lagi, ngerasain hasrat yang masih menggebu.

“Terima kasih udah bikin Rosa ngerasain kebahagiaan yang belum pernah Rosa rasain. Dua hari ini hari paling bahagia dalam hidup Rosa. Selamat istirahat, sayang…” chat dari Rosa bikin aku senyum bahagia sebelum tidur.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *